Musim Panas yang Manis

Written by Alissya Nabila Arsandra

 

“Kris! Ayo bangun!” Seorang wanita paruh baya mengetuk kamarku.

“Iyaa… iyaaa… sebentar lagi…” ucapku sambil bersungut. 

Jujur, aku masih sangat mengantuk apalagi di hari libur begini paling enak memang bangun siang, kan?

“Ayo, cepat! temani Bunda berbelanja ke pasar, Kris…” 

Iya, dia adalah bundaku, teman hidupku. Aku hanya tinggal berdua bersama bunda sejak meninggalnya ayah satu tahun lalu saat ia sedang bertugas menjalankan tugasnya sebagai Angkatan Darat. Ia yang memberi namaku, Arvelyn Kristalia.

Sebenarnya, semenjak kepergian ayahku, aku jarang berinteraksi dengan bundaku. Maka dari itu aku memutuskan di liburan dari SMP-ku ini untuk menghabiskan musim panas bersama bundaku agar kami lebih dekat. Dari dua tahun yang lalu, aku selalu mengikuti camp dari sekolah, namun aku memutuskan tidak untuk tahun ini. Demi bisa lebih dekat dengan bunda. 

***

Kami sudah kembali dari pasar. Tadi bunda menyuruhku untuk mencari sayur-sayuran, sedangkan bunda ke area penjualan ikan. Cukup mengasyikkan. Sudah lama aku tak berjalan bedua dengan bunda. Sesekali bunda bercerita tentang masa-masa aku kecil dulu. Katanya aku tumbuh menjadi anak yang pemberani.

Tapi, karena terik matahari sangat menyengat ketika kami berjalan kembali ke rumah, aku jadi cepat lelah. Sekarang aku  sedang terlentang di atas kasur dengan masih memakai pakaian yang sebelumnya aku pakai untuk ke pasar.

“Kris! Ganti baju dulu, dong!” Bunda tiba-tiba muncul di ambang pintu.

Sontak aku kaget dan terjtuh dari ranjang tidurku.

“Iiih, Bunda! Jangan ngagetin, dong! Lagian nanti aja ganti bajunya, aku masih capek!” Kataku sambil merungut, memegang punggungku yang duluan menyentuh lantai tadi.  

“Ya ampun, Kristalia… kamu ini anak siapa sih?” tanya bundaku.

“Anak Bunda,” jawabku dengan asal.

“Ya Bunda tahu! Tapi kenapa kamar kamu berantakan banget?! Baju kotor berserakan, buku-buku sekolah derantakan, TV dan AC juga belum kamu matikan kan dari kita berangkat tadi?!” Bunda memborong banyak pertanyaan.

“Aku jawab pertanyaan Bunda yang mana dulu, nih?” aku balik bertanya.

“Aduuh… terserah, deh! Pokoknya Bunda enggak mau tahu, ya! Bereskan semuanya dan setelah itu kerjakan tugas-tugasmu sampai selesai! Kalau tidak, Bunda enggak akan kasih kamu uang jajan pada saat masuk kelas nanti!” Bunda mengancamku dan langsung turun ke bawah. 

“Iiih. Apa-apaan sih, Bun? Kok gituu? Lagi pula ini kan baru awal-awal liburan. Aku harusnya bersantai-santai dulu. Kalau tahu Bunda akan marah-marah begini, lebih baik aku ikut camp dari sekolah saja kemarin!” Teriakku dari dalam kamar.

Tapi setelahnya, aku terdiam. Yang aku inginkan bukan pertengkaran. Aku mau lebih dekat dengan bunda lewat bicara dari hati ke hati, bukan pakai emosi seperti tadi. Aku lihat sorot mata bunda tadi seperti menahan tangis, sepertinya ia juga mau yang terbaik untukku. Lagi pula, awal mula pertengkaran tadi memang ada padaku. Aku baru tersadar, cara marahku dan bunda sama. Keduanya tidak mau kalah. Baiklah, besok-besok aku yang akan lebih dulu mengalah. 

 ‘Ah, baru sehari menghabiskan waktu bersama bunda saja sudah ribut begini,” gumamku. Sebelum akhirnya tertidur lelap.

***

Pagi tiba. Baru saja membuka mata, indera penciumanku sudah disuguhkan aroma mac and cheese. Langsung aku berlari menuruni anak tangga dan menuju dapur. Di sana terlihat bunda sedang memasak makanan kesukaanku itu.

“Gimana tidurnya semalam?” tanya bunda dengan lembut.

Ia menoleh dan melemparkan senyumnya. Membuat pagiku terasa lebih sejuk. Au jadi tambah merasa bersalah atas kejadian kemarin. 

“Hm… nyenyak,” jawabku singkat seraya mendekatinya.

“Ini Bunda masakkan makanan kesukaanmu. Sebagai permintaan maaf Bunda,” katanya sambil memelukku.

Aku mengangguk dan membalas pelukan hangatnya. Padahal aku sudah berniat untuk mengucapkan kata maaf itu lebih dulu pagi ini ke bunda.

Selama musim panas, aku dan bunda menjadi lebih dekat. Walaupun ada satu atau dua hari kami isi dengan bertengkar lagi. Setelahnya, kami berdua akan berbaikan lagi. Bunda menjadi semangatku yang baru. 

Aku selalu bersyukur mempunyai bunda seperti ini. 

Previous
Previous

Photo Diary: YA English Creative Writing class

Next
Next

Petualangan di Hutan Candy